11 Desember, 2009

Khalifah dan Khilafah

Untuk lebih detilnya lagi, coba saya posting tulisan saya mengenai apa itu khilafah. Karena ternyata banyak yang menyalah artikan kata Khilafah, bahkan termasuk mereka2 yang bercita2 ingin tegaknya khilafah.

Untuk membahas mengenai khilafah islamiyah, maka kita tidak bisa melepaskan dari satu bahasan penting,
Yaitu tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada seluruh umat manusia dibumi sejak dari zaman Adam AS s/d akhir zaman.
Allah berfirman dalam QS Al Baaqarah : 30... Lihat Selengkapnya
Ingatlah keika Rabb kalian berfirman kepada para aparatnya, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah dimuka bumi". Mereka berkata, "Mengapa Engakau hendak menjadikan dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?" Rabb berfirman, "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui".

Khalifah berarti pengganti atau dalam bahasa kita sekarang adalah wakil atau mandataris.

Jadi, digelarnya kehidupan manusia di bumi, sebenarnya adalah untuk menjadi wakil Allah alias Mandataris Allah di muka Bumi.
Jika bahasan Khalifah terhenti hanya pada ayat diatas, maka kita pasti bingung.
Maka Allah melanjutkannya dengan beberapa ayat selanjutnya, dimana ini berkaitan dengan siapa yang berhak memegang mandat dari Allah tadi.

Diayat-ayat selanjutnya, Allah menerangkan dan mewanti-wanti agar tidak mengikuti bujuk rayu syaithan.
... Lihat Selengkapnya
Dari ketergelinciran manusia mengikuti langkah2 syaithan inilah yang mengakibatkan terpecah belahnya manusia untuk saling bermusuh2an.

.................. dan Kami berfirman, "Keluarlah kalian! Sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS Al Baaqarah : 36)

Perseteruan antara Al Haq dan Bathil, bahkan antara Bathil dengan Bathil akan senantiasa ada sampai akhir zaman.
khilafah yang sebenarnya dipanggulkan kepada setiap Al Bashar (Manusia).

Sesungguhnya, secara naluri dan fitrawi setiap manusia normal memiliki potensi dan kemampuan untuk meaksanakan tugas dari Allah tersebut.

Allah telah memberikan bekal kepada seluruh umat manusia berupa An Nafs (jiwa) yang dengannya manusia dapat berfikir dan berimajinasi. Bermodal dari itulah manusia dapat berupaya dan berkreasi.... Lihat Selengkapnya

Diawal telah saya sampaikan bahwa manusia adalah wakil Allah dimua bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi (QS 11: 61)

Dari modal yang diberikan Allah kepada manusia tadi, maka dapatlah kita saksikan sampai saat ini dengan terjadinya dinamisasi di muka bumi dengan adanya hasil karya manusia.
Jadi itulah potensi yang diberikan Allah kepada manusia untuk menjadi pengatur bumi dalam rangka memakmurkannya.

Akan tetapi, Jika kemudian yang terjadi adalah kerusakan dan pengrusakan atas apa yang diamanahkan kepada manusia, bukan karena salah Allah atas ketentuan-Nya terhadap manusia. Akan tetapi dikarenakan manusia yang tidak mau menggunakan aturan dari Dia yang memberi amanah.

Ketika Allah mengutus manusia (dimulai dari Adam AS), Allah sudah memberikan wejangan agar senantiasa berpegang kepada ayat2-Nya (peraturan dan perundangan-Nya).... Lihat Selengkapnya

Rangkaian kisah pemberian mandat oleh Allah kepada Manusia diakhiri dengan satu wejangan dari Allah
Kami berfirman, "Keluarlah kalian semua surga itu! Kemudian jika datang Petunjuk(ayat2)-Ku, kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti Petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Adapun orang-orang yang kafir dan menustakan Ayat2 Kami, mereka itu penghuni Neraka; mereka kekal didalamnya. (QS Al Baaqarah : 38-39)
Maka jelas, orang yang berhak memegang tanggung jawab wakil Allah dimuka bumi adalah mereka yang memegang Aturang Allah dalam rangka memakmurkan bumi.

Namanya juga wakil atau mandataris, maka pasti ia akan mempresentasikan atas apa yang diwakilinya.

Yang diwakili adalah Allah, maka untuk mempresentasikan bahwa itu adalah kepentingan Allah, tidak bisa tidak melainkan mengikuti apa yang dimaui Allah melalui surat2 beliau (ayat2-Nya) yang ditujukan kepada manusia.
Jadi amanah kekhalifahan adalah amanah individu dari setiap manusia. (Karena Allah berbicara tentang tugas yang diamanahkan kepada manusia ini, Dia menggunakan kata Al Bashar, bukan Al Insan atau An-Naas)

Apakah si manusia mau atau tidak melaksanakan, dikembalikan lagi kepada individu masing2.
Artinya, Apakah manusia mau berpegang teguh kepada ayat2 Allah atau tidak, dikembalikan kepada masing2.
... Lihat Selengkapnya
Karena Allah telah menunjukkan 2 jalan
"Faal hamaha fujuurahaa wataqwaaha"
Jadi, sesungguhnya, setiap manusia, baik laki2 maupun perempuan adalah khalifatullah fil ardl, jika mereka berpegang teguh kepada aturan Allah.

Berbicara khalifah, tidak bisa lepas dari Al Ardl (bumi) sebagai hamparan tempat manusia menjalankan amanah.
Karenanya, berbicara khalifah adalah berbicara mengenai hubungan manusia dengan alam (dalam rangka memakmurkan).
... Lihat Selengkapnya
Karenanya, setiap manusia yang merasa memiliki amanah khehalifahan ini, bertanggung jawab untuk memakmurkan setiap wilayah yang berada dalam kuasanya berdasarkan aturan2 Allah.

Setiap perempuan bertanggung jawab atas apa yang dikuasakan atas dirinya. Setiap kepala keluarga bertanggung jawab atas keluarganya. dan setiap individu bertanggungjawab atas individunya masing2 untuk senantiasa berada dalam aturan2 Allah.
Lantas bagaimana jika seorang Individu, atau seorang perempuan atau sebuah keluarga tidak bisa melaksanakan tugas / amanah khalifah ini dikarenakan halangan dari sistem dan kultur dari lingkungan yang berada disekitarnya??
Jika seseorang terhalang dalam melaksanakan amanah Allah ini, maka ia berhak dan wajib untuk menyingkirkan penghalang tersebut. Karenanya, upaya menghilangkan penghalang dalam rangka menjalankan tugas Amanah Allah adalah bagian dari amanah itu sendiri.

Suatu yang sifatnya wajib, tidak bisa terlaksana kecuali jika terwujudnya hal (sepertihalnya shalat tidak sah sebelum wudlu), maka hal tersebut menjadi wajib pula.
... Lihat Selengkapnya
Jika satu keluarga yang ingin menjalankan aturan Allah secara total terhalang oleh adat dan lingkungan, maka menjadi satu kewajiban pula membebaskan diri dari belenggu adat dan lingkungan tersebut. Jika tidak bisa melepaskan diri, maka menjadi kewajiban pula merubah adat dan lingkungan agar menjadi kondosif, bahkan mendukung apa yang menjadi tugasnya.
Sementara berbicara Al Ard,.......
Bukan sekedar berbicara lingkungan sekitar khan??
Berbicara khalifatullah fil Ardl,..................
Maka berbicara bumi secara keseluruhan.
... Lihat Selengkapnya
Tapi kita jangan bicara jauh-jauh dulu.

Mari kita bicara satu wilayah dulu. Pulau Jawa misalnya.

Untuk mewujudkan mandat dari Allah demi memakmurkan pulau jawa ini, mustahil jika setiap orang akan berjalan sendiri2 dalam menjalankan amanah yang dipanggul di pundak mereka masing2

Maka diperlukan satu koordinasi yang saling berhubungan dan saling menguatkan, sehingga tidak terjadi penumpukan kerja dan tumpang tindih serta tabrakan antara satu kerja dengan kerja yang lain.

Koordinasi inilah yang kita kenal sekarang dengan kelembagaan.
Satu kelembagaan yang mengumpulkan para pemangku mandat khalifah demi terbaginya kinerja secara merata sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing2.

Sebuah kelembagaan tidak akan mungkin bisa bekerja tanpa adanya struktur kelembagaan.

Kelembagaan inilah yang dikenal dengan khlilafah (Tempat berkumpulnya para pemangku amanah khalifah demi mewujudnya aturan Allah dalam rangka memakmurkan bumi).
Sekarang kita bicara mengenai bentuk kelembagaan khilafah tersebut.

Ingat, bahwa tugas khalifah bukan sekedar tugas dari umat Rasulullah Muhammad saja. Tapi tugas ini sudah menjadi tugas manusia sejak Adam AS sampai akhir zaman.

Karenanya, Kelembagaan khilafah inipun sudah pula ada sejak zaman Adam AS.... Lihat Selengkapnya

Bentuknya bisa berbagai macam, yang sering dikenal adalah bentuk monarki/kerajaan.
Contohnya adalah Yusuf, Daud dan Sulaiman.

Ada pula yang bentuknya satu bani/kabilah
Contohnya adalah Ya'qub (Isyra'el)

Adapula yang bentuknya karena atas ketokohan dalam masyarakat
Contohnya adalah Isma'il.

Tapi ada pula yang tersetruktur dengan rapi dari mulai pimpinan sampai dengan struktur2 dibawahnya.
Sepertihalnya masa khilafah Islam.
Jadi intinya, Khilafah Islamiyah adalah sebuah kelembagaan yang mengusung/menjadikan Undang-Undang Allah sebagai acuan dalam melaksanakan kelembagaan, dimana kelembagaan ini bergerak demi mewujudnya kemakmuran bumi melalui cara membumikan aturan2 Allah.

Kelembagaan (khilafah) Islam ini, bentuknya bisa apa saja. Sesuai dengan perkembangan pemikiran dan peradaban manusia. Untuk saat ini, tidak menutup kemungkinan berbentuk Presidensil. Selama proses penyelenggaraan kelembagan tidak menyalahi dari koridor2 yang telah Allah dan Rasul-Nya gariskan.

Salah satu contoh konsep yang melanggar koridor2 Qur'an adalah faham Demokrasi.... Lihat Selengkapnya
Faham ini menyatakan bahwa 'Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan". Juga menyatakan bahwa 'kebenaran ada ditangan mayoritas'.
Sementara Allah menyatakan dalam Qur'an Surah Al An'am : 116
Dan Jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang dimuka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari Jalan allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.
Mari sekarang kita bicara bagaimana membangun KHILAFAH ISLAMIYAH.

Tadi saya sudah bicara, bahwa bahasan khilafah tidak akan lepas dari bahasan khalifah.
Dimana khilafah adalah satu kelembagaan bagi bergabung dan berkumpulnya para pemangku mandat khalifah untuk mewujudkan Program2 Allah dimuka bumi.
... Lihat Selengkapnya
Oleh karenanya, langkah awal yang musti dibangun adalah menyadarkan setiap manusia bahwasanya mereka adalah Khalifatullah fil Ardl. Mereka adalah Wakil Allah dimuka bumi yang bertanggungjawab memakmurkan bumi. Dan dalam rangka itu, maka mereka harus melaksanakannya berdasar rambu2 yang telah diberikan oleh Sang Pemberi Mandat melalui Ayat2-Nya.

Ketika satu/dua orang telah sadar dan memahami akan tanggung jawab ini, maka secara sadar pula, mereka akan membuat (bergabung kedalam) satu komonitas para khalifatullah.

Ini dikarenakan manusia adalah makhluk sosial (An Naas) dimana seorang manusia pasti membutuhkan manusia yang lain.
Tidak akan mungkin seorang manusia dapat melaksanakan tanggungjawab khalifah tanpa peran serta manusia yang lain.

Ketika komunitas para khalifatullah ini semakin besar dan semakin banyak, maka tanggung jawab yang diemban oleh komonitas tersebut-pun akan bertambah banyak dan semakin kompleks pula.
Oleh karenanya dibutuhkan satu penataan yang terstuktur (kelembagaan) yang mengatur akan tugas dan tanggung jawab setiap individu.
Ada yang jadi Dokter, petani, nelayan, pekerja, pengusaha, sopir dll yang mereka bekerja secara profesional berdasarkan job yang ada pada mereka.
Ada yang jadi Pemimpin, wakil, penasehat, pendidik dan yang jadi umat. Semuanya sadar dan bertanggung jawab atas peran yang berada dipundak mereka.

Dan untuk mendidik manusia agar sadar akan tugas dan tanggung jawab-Nya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah Tabligh (Penyampaian) dan Dakwah (seruan kepada Al Haq)
Ketika Nabi Nuh AS berupaya membangun wadah (lembaga) ke-Khilafahan, melalui petunjuk Allah, kita perhatikan apa sambutan dari mereka yang tidak suka.

Ketika Nabi Nuh Membangun kapal sebagai wadah (lembaga) awal wujudnya ke-khilafahan, maka cacian dan hinaan yang beliau terima, jauh lebih keras daripada apa yang dialami oleh umat zaman ini. Beliau bukan sekedar dikatakan sebagai 'PEMIMPI', bahkan lebih dari itu, Beliau dikatakan oleh orang2 yang menentangnya (AL KAAFIRUUN) sebagai 'ORANG GILA'.

Jadi................... Lihat Selengkapnya
Apakah kamu akan mengaku sebagai orang yang beriman, sementara belum datang cobaan sebagaimana yang telah dialami oleh orang2 terdahulu??
ketika khekhalifahan islam dahulu berjaya di dunia sejak masa Umar bin Ktattab, setiap negeri yang dibebaskan, diberi kebebasan pula untuk menata struktur pemerintahannya masing2.

Yang terpenting adalah bahwasanya umat islam merdeka dalam melaksanakan aturan-aturan Qur'an dalam kehidupannya, kemudian sistem hukum benar2 diterapkan dalam kehidupan (bukan sekedar simbol dan bacaan).

Selanjutnya, para pelanggar hukum ditindak dengan seadil2nya.... Lihat Selengkapnya
Yang terpenting adalah bahwasanya umat islam merdeka dalam melaksanakan aturan-aturan Qur'an dalam kehidupannya,

Artinya, Setiap orang islam harus melaksanakan aturan2 qur'an secara totalitas tanpa ada yang boleh menghalang2-i.
Apabila ada yang menghalangi-nya, maka harus dilawan dan disingkirkan atau ditinggalkan.
Apabila ada adat/tradisi yang tidak sesuai dengan tatanan qur'ani, maka setiap orang muslim wajib meninggalkannya. (Jika tidak mau meninggalkannya, jangan ngaku2 orang muslim).
Setiap Muslim Wajib berhukum dengan hukum2 Allah. (Jika tidak mau, tidak boleh diakui pula sebagai orang Islam)
Sesunggunya para pemikul risalah adalah Para khalifatullah.

Karenanya semua kelembagan yang lahir dari para pemikul risalah demi ter-bumikannya Al Qur'an, adalah lembaga khilafah.
Baik itu Monarki yang diterapkan oleh Daud dan Sulaiman ataupun Yusuf.
Maupun khalifah Islam yang di praktekkan oleh semua khulafa'urrasyidah.... Lihat Selengkapnya

Jangan lupa pula, bahwa Dinasti Utsmaniyah maupun Abasiyah lebih bercorak Monarki.

Adapun praktek sunnah mengenai Bai'ah yang menjadi syarat mutlak pengakuan kekhalifahan pasca Muhammad rasulullah, adalah berbicara mengenai ikrar untuk terikat dengan kepemimpinan dalam khilafah.

Sementara berbicara sistem pemerintahan,
Kalo kita melihat dari mulai Khalifah Abubakar Assyidik s/d Ali bin Abi Thalib saja.......... terjadi banyak perubahan dan pengembangan dalam sistem pemerintahannya.
Bentuk khilafah pasca Muhammad adalah Ijtihad Para shahabat.
Jikapun kurang tepat, maka bernilai satu (dimata Alah)
Jika benar, maka bernilai dua (dimata Allah)

Adapun dimasa Rasulullah Muhammad, bentuk lembaga Khilafah yang dijalankan olehnya sesuai dengan kondisi saat itu pula.... Lihat Selengkapnya

Intinya, Lembaga khilafah itu wajib ada bagi Umat muslim dimanapun dia berada.
Adapun bentuk, bisa dimusyawarahkan bersama para pakar yang berkompeten akannya (Ulama).

Wallahua'lam Bisshowab.

Pengertian BAI'AH

Bai’ah
Kita mulai pembahasan ini dengan definisi bai’ah secara etimologi maupun terminologi. Bai’ah secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadi jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Bai’ah juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : “shofaquu ‘alaihi” (untuk perjanjian dengannya). Kata-kata “baaya’tahu” berasal dari kata “al-baiy’u” dan “al-baiy’atu” demikian pula kata “al-tabaaya’u”.

Bai’at Secara Istilah (Terminologi) : Berjanji untuk taat”.

Makna bai’ah dalam Al Qur’an
1. Bermakna jual beli.
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah ayat 111)

2. Bermakna Janji Setia
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS. al-Fath (48) : 10)
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. al-Fath (48) : 18)

Bai’ah berdasarkan Sunnah yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah, diantaranya :
1. Bai’ah Aqobah
Abdullah bin Rawahah berkata kepada Rasulullah , pada malam Perjanjian Aqobah (Bai’at Aqobah), “Tentukanlah syarat sesukamu yang harus kami penuhi untuk Robbmu dan untuk dirimu yaa Rasulullah”. Maka Beliau Saw bersabda: “Aku menentukan syarat untuk Robbku agar kalian menyembahnya dan agar kalian tidak menyekutukan sesuatu apapun dengannya dan aku menentukan syarat untuk diriku agar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi jiwa dan harta kalian”. Para sahabat bertanya: “apa imbalannya jika kami menepatinya ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab “SYURGA”. Merekapun berseru: “Betapa menguntungkan jual beli ini, kami tidak mau mengganti dan tidak ingin diganti”. Maka turunlah ayat ini (QS. 9 :111) artinya mereka sudah puas dengan harga syurga yang Allah tawarkan untuk membeli diri dan harta mereka sehingga tidak akan pernah menerima tawaran lain sebagai penggantinya bahkan mereka tidak pernah mau mendengar tawaran lain berupa apapun yang ditawarkan kepada mereka untuk memalingkan mereka dari Jihad Fiesabilillah. Yang dapat membatalkan syurga yang dijanjikan Allah itu, meskipun dengan seluruh isi dunia. Selama hayat dikandung badan, mereka bersungguh sungguh menjaga perjanjian mereka itu, bersiap siaga kapan saja untuk menepatinya, untuk mendapatkan keuntungan yang tiada tara, yang mereka yakin sekali akan kebenarannya, bahwa Allah pasti menepati janjinya.
2. Bai’ah Aqobah II
Setelah membaca Al-Qur'an dan mendorong kecintaan pada Islam, Rasulullah saw. menjawab, "Saya membaiat kalian untuk melindungi saya dari apa yang kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian dari sesuatu itu."
Lalu al-Barra' mengulurkan tangan untuk memberikan baiatnya kepada Rasulullah saw. seraya berkata, "Kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami adalah anak-anak perang [sering mengalami peperangan yang seolah-olah dirinya dilahirkan dari peperangan] dan penduduk lingkaran kancah yang penuh peperangan. Kami mewarisinya dari orang besar dan dari orang besar." Namun, belum menyelesaikan pernyataannya, al-Barra' sudah disela (interupsi) oleh Abu al-Haitsam bin al-Tiihan dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, di antara kami dan orang-orang Yahudi ada tali perjanjian. Kami berniat memutuskannya. Jika kami melakukan itu, kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali pada kaummu dan meninggalkan kami?"
Rasul agung itu tersenyum. Beliau menatap mereka sejenak, kemudian berkata, "Bahkan, darah dibalas darah, hantaman dibalas hantaman! Sesungguhnya saya bagian dari kalian dan kalian bagian dari saya. Saya akan memerangi orang yang kalian sedang berperang dengannya dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya."
3. Bai’atur Ridwan
Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah.

Pengertian Bai’ah.
Dari keterangan ayat dan shirah yang diterangkan diatas, maka Bai’ah mempunyai pengertian sebagai berikut :
Yang pertama, yaitu sebuah ikrar Jual Beli antara Hamba dengan Rabbnya. Kita ketahui bahwa Jual Beli dimasa itu, yang menyatakan bahwa yang dijual itu adalah diri dan harta, mengindikasikan bahwa ini adalah Jual Beli dalam rangka perbudakan. Maka, bai’ah adalah sebuah Ikrar seseorang yang siap menghambakan (Membudakkan) dirinya hanya kepada Allah. Maka bagi seseorang yang telah berbai’ah dikatakan sebagai Hamba (Budak) Allah.
Yang kedua, berdasarkan QS Al Fath ayat 10, bahwa bai’ah adalah sebuah janji setia kepada Allah, karena meskipun secara prosedural bai’ah itu dihadapan seseorang (dalam hal ini pemimpin) tapi pada hakikatnya bai’ah itu adalah kepada Allah (tangan Allah diatas tangan mereka). Ikrar inilah yang akan dipertanggungjawabkan nanti di Yaumul Hisab (apakah konsisten atau tidak terhadap janji setianya tersebut).

Fungsi Bai’ah
Maka dari itu, fungsi bai’ah adalah jelas sebagai satu ikrar penetapan diri, mempersembahkan diri untuk berjual beli dengan Allah, dalam artian sebuah ikrar diri untuk siap menjadi Budak/Abdi Allah. Dan ikrar ini tidak berhenti pada pelafatannya saja, karena itu kesetiaan atas ikrar tersebut hingga akhir hayatnya yang nanti akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah.

Bai’ah itu kepada Siapa?
Dari keterangan2 diatas, terang menunjukkan bahwa bai’ah itu bukan kepada seseorang ataupun kepada Khalifah. Melainkan Bai’ah itu adalah kepada Allah. Karena tidak mungkin seorang Muslim Menghambakan dirinya selain kepada Allah. Juga tidak mungkin seorang Muslim mengikrarkan Janji setianya selain kepada Allah. Sebab seorang Manusia punya kemungkinan untuk menyimpang dari kebenaran, jika janji setia itu diikrarkan untuk orang/khalifah maka bagaimana jika seseorang tersebut keluar dari jalan kebenaran? (Adapun Bai’ah itu dihadapan pemimpin/khalifah, akan diterangkan nanti).

Tujuan Bai’ah
Dari Sunnah yang telah dijalankan oleh Rasul dan para Shahabat, Bai’ah memiliki beberapa tujuan bagi yang mengikrarkannya.
Yag pertama, sebagai penetapan diri untuk siap menerima Hukum2 Allah. Siap untuk diatur dengan tatanan Ilahiyah. Siap mengaplikasikan Ketentuan2 Allah. Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anaka-naknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka. (QS Mumtahanah [60]: 12).
Yang kedua, satu ikrar untuk siap membela Allah dan para Waliyullah. Bahkan hingga sebuah kata ”DARAHMU-DARAHKU”.
Yang ketiga, memperkuat dan memperteguh ikatan, melalui sebuah janji ikatan bersama dalam rangka memenangkan Agama Allah.

Konsekuensi dan Hasil dari Bai’ah
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah ayat 111)
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. (QS At Taubah ayat 112)
Di ayat 111 telah jelah menerangkan konsekuensi dari Bai’ah, bahkan sampai siap untuk dibunuh dan membunuh. Sementara, di ayat 112nya, bisa bermakna dua. Yang pertama bahwa orang yang telah berbai’ah, mempunyai konsekuensi sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut. Tapi bisa juga berakna bahwa apa yang telah diterangkan dalam ayat tersebut hanya berlaku bagi mereka2 yang telah melakukan/mengikrarkan Bai’ah, dengan arti bahwa taubat, memuji, melawat ruku’ dan semuanya itu hanya legal dimata Allah bagi mereka2 yang telah berbai’ah, bukan bagi mereka2 yang belum berbai’ah. Sehingga Hadits yang menerangkan bahwa ”sesiapa yang meninggal tanpa ada bai’ah dilehernya, maka matinya dalam kondisi Jahiliyah” sesuai dengan ayat diatas.

Prosesi Bai’ah.
Setelah memahami bahwa Bai’ah itu adalah kepada Allah, maka bagaimana prosesi bai’ah kita terhadap Allah tersebut? Sunnah menerangkan dan menjelaskan Bagaimana prosesi bai’ah tersebut.
Yang pertama bahwa Tangan Allah diatas tangan mereka, dalam hal ini tentu melalui wakil Allah dimuka bumi. Dalam penjelsan saya mengenai Khalifah, telah saya terangkan bahwa setiap manusia yang ada dimuka bumi ini adalah khalifah (wakil) Allah, apabila mereka berpegang teguh kepada aturan2 Allah. Sementara, Khilafah adalah kesatuan dari para khalifatullah yang tergabung dalam satu kelembagaan (Kepemimpinan). Maka bai’ah akan syah apabila dilakukan didepan mereka2 yang memangul amanah Allah dimuka bumi ini.
Yang kedua, siapakah yang dimaksud mereka yang memanggul amanah2 Allah dimuka bumi? Bahwa tujuan bai’ah adalah sebagai penetapan diri untuk siap menerima Hukum2 Allah. Siap untuk diatur dengan tatanan Ilahiyah. Siap mengaplikasikan Ketentuan2 Allah. Bagaimana kesiapan berhukumnya seseorang kepada Hukum Allah, telah Allah terangkan melalui ayat2-Nya. Yaitu QS An Naas dari ayat 58 s/d 70. Ayat2 tersebut jelas menerangkan bahwa penerapan Hukum Allah itu di laksanakan oleh kepemimpinan Islam (Ulil Amri) yang merupakan manifestasi dari kepemimpinan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kesiapan seseorang untuk terikat dengan Hukum2 Allah adalah berbai’ah kepada Allah melalui para pemimpin (Ulil Amri) yang mereka itu menjalankan penghukuman berdasarkan Hukum Allah. Hal ini lebih diperkuat oleh Sunnah, bahwasanya setelah Bai’ah Aqobah II, Rasulullah mengangkat 12 pemimpin dari kalangan Aus dan Khazraj. Sehingga setelah itu, dari kalangan Aus dan khazraj yang masuk Islam kemudian berbai’ah, tidak lagi langsung melalui Rasulullah, melaikan melalui para pemimpin yang telah diangkat tersebut. Begitu juga melalui Amir2 yang diutus Rasulullah di berbagai negeri yang telah ditaklukkan.

Bagaimana dengan pendapat umum bahwa Bai’ah adalah kepada Khalifah?

Dari keterangan diatas, jelas menyalahi syari’at kalo Bai’ah itu kepada Khalifah. Untuk menerangkan hal diatas, mari kita kembalikan arti dan makna khalifah berdasarkan arti dan makna sesungguhnya sebagaimana disaat masa hidup Rasullah. Muhammad Husein Haikal dalam karyanya Khalifah Rasulullah ”Abubakar Assyidiq” menerangkan bahwa arti dari Khalifah adalah pengganti. Awalnya, masyarakat muslim yang telah berbai’ah dengan mengangkat Abubakar Assyidiq sebagai pemimpin, menggelarinya dengan Khalifahtullah, akan tetapi Abubakar tidak menyetujuinya. Selanjutnya dia menyebut dirinya dengan Khalifah Rasulullah yang berarti adalah pengganti Rasulullah. Setelah berganti kepemimpinan kepada umar bin Khattab s/d Ali bin Abu Thalib, kata Khalifah Rasulullah sudah tidak dipakai lagi, melainkan yang dipakai adalah Amirul Mu’minin. Kata Khalifah ini kembali dipakai pada masa Mu’awiyah dan seterusnya. Yang kemudian makna Khalifah ini mengalami pergeseran makna menjadi Pemimpin kaum Muslimin, sebagaimana yang dikenal oleh umumnya umat muslim saat ini.
Daripada itu, maka sesungguhnya semua hadits yang memuat kata Khalifah, semua itu bermakna Pengganti, meskipun maksud dari kata tersebut mempunyai fungsi sebagai Pemimpin kaum Muslim. Sebagaimana hadits berikut : Dari Abu Hazim, dia berkata: “Selama lima tahun aku berkawan dengan Abu Hurairah, dan aku pernah mendengar dia menceritakan suatu hadis dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Orang-orang Bani Israil itu selalu diatur oleh para Nabi. Seorang Nabi meninggal dunia akan digantikan oleh seorang Nabi yang lainnya. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi sama sekali sesudahku. Dan kelak akan bermunculan para Khalifah.” Para sahabat bertanya: “Lantas apa yang Anda perintahkan kepada kami?” Rasulullah saw menjawab: “Penuhilah pembai’atan yang pertama kemudian seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungan jawab terhadap kepemimpinan mereka.” (HR Muslim). Khalifah dalam hadits tersebut bermakna pengganti, meskipun yang dimaksud mempunyai fungsi sebagai Amirul Mukminin. Dan mengapa Rasulullah tidak menggunakan kata Amirul Mu’minin? Sebagaimana yang diketahui, bahwa istilah Amirul Mu’minin baru dikenal setelah pengangkatan Umar Bin Khattab sebagai pengganti Abubakar.

Proses/Cara Pengangkatan Amirul Mu’minin
Dari itu semua, maka tidak benar keterangan yang menerangkan bahwa Pengangkatan Amirul mu’minin itu melalui Bai’ah. Karena sudah jelas salah kaprah. Karena jelas2 fungsi Bai’ah bukanlah untuk mengangkat seorang Amirul Mu’minin. Dari shirah para Khulafa’urrasyidin juga tidak ada nash yang menerangkan bahwa pengangkatan mereka itu melalui Bai’ah. Abubakar diangkat sebagai Pemimpin melalui pengajuan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, yang kemudian di sepakati oleh seluruh hadirin yang hadir di mimbar Syaqifa. Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah melalui penunjukan yang dilakukan oleh Abubakar As Syidiq. Utsman bin Affan diangkat sebagai Khalifah melalui musyawarah yang dilakukan oleh shhabat2 utama yang telah ditunjuk oleh Umar. Begitu juga Ali, diangkat melalui musyawarah shahabat2 utama. Jadi jelas bahwa pengangkatan Amirul Mu’minin tidak melalui Bai’ah.

Bai’ah adalah untuk melanjutkan kehidupan Islami.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa tujuan Bai’ah adalah untuk menghukumkan diri kepada Hukum Allah, dimana yang melaksanakannya adalah Ulil Amri. Maka, ketika bergantinya kepemimpinan umum umat Muslim Bai’ah adalah untuk memperkokoh dan memperkuat kembali ikatan, untuk rela berhukum kepada hukum Allah dibawah kepemimpinan orang yang telah ditunjuk sebagai Ulil Amri. Sebagaimana Ali Bin Abi Thalib yang terlambat Bai’ah terhadap Abubakar Assyidiq, Bai’ah disitu bukan untuk mengangkat Abubakar Sebagai Ulil Amri, karena memang Abubakar telah terpilih sebagai Ulil Amri. Akan tetapi Bai’ah tersebut sebagai ikrar memperkokoh kembali kesediaan mengabdikan diri kepada Allah dibawah kepemimpian Abubakar. Bai’ah terhadap Ulil Amri, ini dilakukan oleh mereka2 yang berada langsung dibawah kepemimpinannya, yaitu orang2 yang berada dalam lingkup terdekatnya. Terhadap mereka yang jauh berada diluar lingkup dekatnya, tapi masih dalam wilayah kekuasaannya, maka tidak ada bai’ah sebagai pemerkokoh, melainkan ia cukup berpegang atas bai’ah sebelumnya yang telah ia lakukan terhadap Pemimpimnya yang terdekat. Inilah yang dimaksud dengan hadits yang berbunyi “Penuhilah pembai’atan yang pertama kemudian seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungan jawab terhadap kepemimpinan mereka.”

Bagaimana dengan Imam Mahdi?
Banyak sekali simpang siur keterangan mengenai Imam Mahdi ini baik melalui artikel2 maupun buku2 yang telah dikarang oleh berbagai macam orang, juga dari berbagai kelompok. Untuk mengupas sedikit akan halnya ini maka kita harus siap mengoreksi berdasarkan landasan2 Syar’i. Bahwasanya apabila ada tafsir hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an maka sudah pasti tafsir tersebut batal. Juga apabila ada hadits yang bertentangan dengan Qur’an, hadits tersebut juga jelas batal/maudhu. Oleh karena itu, mari kita timbang keberadaan Imam Mahdi ini melalui nash yang Hakq.
Yang pertama bahwa telah diyakini melalui petunjuk Allah (Al Qur’an) bahwa tidak ada Nabi lagi setelah Nabi Muhammad. Artinya disini, bahwa tidak ada lagi manusia dibumi ini yang bakalan mendapatkan berita dari Allah melalui malaikat-Nya. Nabi, asal katanya adalah naba yang berarti berita. Dari situ jelas bahwa tidak ada satu manusiapun sampai akhir zaman yang dapat meng klaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Bagaimana mungkin seseorang akan mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi tanpa berita/petunjuk dari Allah? Sementara, tidak mungkin lagi ada manusia yang dapat menerima berita dari Allah setelah wafatnya Nabi Muhammad. Oleh karena itu, barang siapa yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi, sudah pasti dia Bohong. Sehingga, tidak ada seseorangpun yang dapat memastikan si ini atau si itu sebagai Imam Mahdi, melainkan hanya praduga berdasarkan petunjuk Rasulullah melalui Hadits2. Hal ini juga membantah keterangan bahwa Khalifah itu Allah sendiri yang mengangkatnya.
Yang kedua, bahwasanya masa kepemimpinan imam mahdi adalah antara 7 s/d 9 tahun. Sementara, tidak ada seseorangpun yang dapat mempredeksikan kekuasaan seseorang itu bakalan berlangsung selama 7 s/d 9 tahun. Orang mengetahuinya adalah ketika sang Imam Mahdi tersebut telah meninggal. Ini artinya, tidak ada yang bisa mengklaim atau mempredeksikan si ini atau si itu sebagai Imam Mahdi melainkan setelah dia meninggal. Sehingga, munculnya imam mahdi ini tidak ada yang bisa mempredeksi dan mengklaimnya (yang artinya dalam masalah yang belum jelas) kecuali setelah meninggalnya dia, dan diyakini oleh orang setelahnya.
Pada saat ini banyak orang yang terkungkung oleh paradigma akan hadirnya Imam Mahdi, sementara tidak ada satupun manusia yang dapat mempredeksi dan mengklaim akan keberadaannya. Juga sebuah pernyataan untuk mempersembahkan Bai’ah-nya hanya untuk Imam Mahdi. Padahal tidak ada nash yang menyatakah bahwa Bai’ah itu adalah kepada Imam Mahdi. Sementara menjadi nash yang jelas bahwa Bai’ah itu merupakan ketetapan syara’ dalam Islam yang wajib dipenuhi oleh setiap muslim, bahkan Rasulullah mengancam mereka yang belum ada bai’ah di leher mereka apabila mati, maka matinya dalam kondisi mati jahiliyah.

**Diambil dari berbagai sumber**



Demikian penjelasan dari ana mengenai bab Bai’ah ini, mudah2an dari ini ada yang menambahkan atau ada yang mengoreksi apabila ada kesalahan dari keterangan yang ana postingkan.
Wallahua’lam bisshowab.